Hukum Beli Barang Tiruan

Hukum Beli Barang Tiruan

Pernahkah kamu menemukan barang orang lain di jalan? Lalu, apa yang kamu lakukan? Menyikapi hal itu, dalam ajaran agama Islam sudah diatur dengan jelas dan lengkap terkait hukum menemukan dan mengambil barang temuan milik orang lain.

Menurut buku yang berjudul Syariah Islamiyah karya Sutisna, sebutan bagi setiap harta dilindungi yang rentan hilang dan tidak diketahui pemiliknya dalam bahasa Arab adalah luqathah. Sementara itu, menurut syara' artinya memungut harta atau barang dari suatu tempat yang tidak diketahui pemiliknya (milik orang lain yang hilang).

Kewajiban dari orang yang menemukan barang temuan tersebut adalah mengumumkan barang yang ditemukan tersebut selama satu tahun, sebagaimana yang dikutip dari buku Hadis-hadis Ekonomi karya Isnaini Harahap. Apapun jenis barangnya dan di mana pun ditemukannya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Apabila belum ditemukan pemiliknya, maka barang tersebut boleh dikelola sebagai barang titipan hingga pemiliknya datang untuk mengambil kembali barangnya. Anjuran ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang dinukil dari Zaid bin Khalid Al-Juhanny RA, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ اللُّقَطَةِ فَقَالَ اعْرِفْ وِكَاءَهَا أَوْ قَالَ وِعَاءَهَا وَعِفَاصَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اسْتَمْتِعْ بِهَا فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

Artinya: "Rasulullah SAW ditanya mengenai luqathah emas dan perak. Beliau lalu menjawab, "Kenalilah pengikat dan kemasannya, kemudian umumkan selama setahun. Jika kamu tidak mengetahui (pemiliknya), gunakanlah dan hendaklah menjadi barang titipan padamu. Jika suatu hari nanti orang yang mencarinya datang, berikan kepadanya," (HR. Bukhari Muslim).

Lantas, bagaimana hukum mengambil barang temuan dalam Islam?

Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya. Masih melansir dari buku yang sama, hukum mengambil barang temuan dalam Islam di antaranya:

1. Hukum mengambil barang temuan adalah sunnah apabila penemu barang percaya kepada dirinya sendiri. Artinya, ia sanggup mengurus segala yang berhubungan dengan pemeliharaan barang tersebut sebagaimana mestinya.

Namun, bila tidak diambil pun barang-barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang sia-sia.

2. Hukumnya wajib mengambil barang temuan. Hal ini berlaku bila penemunya percaya pada dirinya sendiri bahwa ia mampu mengurus benda-benda temuan itu sebagaimana mestinya. Kemudian adanya sangkaan bila benda-benda itu tidak diambil akan hilang sia-sia atau diambil oleh orang yang tidak bertanggung jawab.

Menurut suatu pendapat, hukum mengambil barang temuan wajib jika luqathah ditemukan di tempat yang tidak aman. Sebab sebagian kaum mukminin wajib menjaga kekayaaan sebagian kaum mukminin lainnya.

3. Hukumnya menjadi makruh apabila orang yang mengambil tidak percaya dengan dirinya sendiri. Artinya, ia khawatir akan berbuat khianat terhadap barang yang ditemukannya di kemudian hari.

Adapun rukun dari luqathah atau barang temuan itu ada tiga, yaitu kehilangan, orang yang menemukan, barang temuan, dan macam-macam luqathah. Untuk macam-macam barang temuan, menurut Imam Ibnu Muflih, bisa berupa sesuatu yang tidak diminati oleh kalangan menengah atau pun hewan tersesat yang tidak memerlukan perlindungan.

Itulah penjelasan singkat mengenai barang temuan dan hukum mengambil barang temuan tersebut. Semoga bermanfaat ya, sahabat hikmah!

Hukum mengambil barang temuan dalam Islam tidak bersifat tunggal, melainkan dapat bervariasi tergantung pada situasi dan kondisi. Berikut adalah beberapa hukum yang berkaitan dengan pengambilan barang temuan:

Mengambil barang temuan bisa menjadi sunnah apabila si penemu yakin bahwa dia mampu menjaga dan mengurus barang tersebut sebagaimana mestinya. Hal ini berlaku jika barang tersebut tidak dikhawatirkan akan hilang atau rusak jika dibiarkan di tempatnya.

Dalam beberapa kondisi, mengambil barang temuan bisa menjadi wajib. Ini terjadi ketika:

Alasan di balik kewajiban ini adalah prinsip Islam yang mengharuskan umat Muslim untuk saling menjaga harta sesama.

Mengambil barang temuan bisa menjadi makruh jika si penemu tidak yakin dapat menjaga amanah. Misalnya, ada kekhawatiran bahwa dia akan berbuat khianat terhadap barang temuan tersebut di kemudian hari.

Imam Maliki dan Hambali berpandangan bahwa makruh hukumnya mengambil atau memungut barang temuan di jalan atau di tempat umum. Mereka berpendapat bahwa perbuatan itu dapat menjerumuskan seseorang untuk memanfaatkan atau memakan barang yang haram.

Hukum mengambil barang temuan bisa menjadi haram jika si penemu tahu bahwa dirinya memiliki sifat tamak dan kemungkinan besar akan menyalahgunakan barang tersebut.

Hukum Khusus untuk Makkah

Perlu diperhatikan bahwa hukum di atas tidak berlaku untuk barang temuan di Kota Makkah. Di Tanah Haram ini, diharamkan mengambil barang temuan kecuali untuk tujuan mengumumkannya. Hal ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW:

"Tidak boleh memungut barang temuan di daerah ini (maksudnya Makkah) kecuali bagi orang yang akan memperkenalkannya."

Pernahkah kamu menemukan barang orang lain di jalan? Lalu, apa yang kamu lakukan? Menyikapi hal itu, dalam ajaran agama Islam sudah diatur dengan jelas dan lengkap terkait hukum menemukan dan mengambil barang temuan milik orang lain.

Menurut buku yang berjudul Syariah Islamiyah karya Sutisna, sebutan bagi setiap harta dilindungi yang rentan hilang dan tidak diketahui pemiliknya dalam bahasa Arab adalah luqathah. Sementara itu, menurut syara' artinya memungut harta atau barang dari suatu tempat yang tidak diketahui pemiliknya (milik orang lain yang hilang).

Kewajiban dari orang yang menemukan barang temuan tersebut adalah mengumumkan barang yang ditemukan tersebut selama satu tahun, sebagaimana yang dikutip dari buku Hadis-hadis Ekonomi karya Isnaini Harahap. Apapun jenis barangnya dan di mana pun ditemukannya.

Apabila belum ditemukan pemiliknya, maka barang tersebut boleh dikelola sebagai barang titipan hingga pemiliknya datang untuk mengambil kembali barangnya. Anjuran ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang dinukil dari Zaid bin Khalid Al-Juhanny RA, ia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَأَلَهُ رَجُلٌ عَنْ اللُّقَطَةِ فَقَالَ اعْرِفْ وِكَاءَهَا أَوْ قَالَ وِعَاءَهَا وَعِفَاصَهَا ثُمَّ عَرِّفْهَا سَنَةً ثُمَّ اسْتَمْتِعْ بِهَا فَإِنْ جَاءَ رَبُّهَا فَأَدِّهَا إِلَيْهِ

Artinya: "Rasulullah SAW ditanya mengenai luqathah emas dan perak. Beliau lalu menjawab, "Kenalilah pengikat dan kemasannya, kemudian umumkan selama setahun. Jika kamu tidak mengetahui (pemiliknya), gunakanlah dan hendaklah menjadi barang titipan padamu. Jika suatu hari nanti orang yang mencarinya datang, berikan kepadanya," (HR. Bukhari Muslim).

Lantas, bagaimana hukum mengambil barang temuan dalam Islam?

Hukum pengambilan barang temuan dapat berubah-ubah tergantung pada kondisi tempat dan kemampuan penemunya. Masih melansir dari buku yang sama, hukum mengambil barang temuan dalam Islam di antaranya:

Adapun rukun dari luqathah atau barang temuan itu ada tiga, yaitu kehilangan, orang yang menemukan, barang temuan, dan macam-macam luqathah. Untuk macam-macam barang temuan, menurut Imam Ibnu Muflih, bisa berupa sesuatu yang tidak diminati oleh kalangan menengah atau pun hewan tersesat yang tidak memerlukan perlindungan.

Itulah penjelasan singkat mengenai barang temuan dan hukum mengambil barang temuan tersebut. Semoga bermanfaat ya, sahabat hikmah!

Beli Emas Virtual Antam

Ustadz di butik emas antam kita bisa beli emas virtual, jd kita tidak beli fisik emasnya, tapi kita mnyerahkan uang ke butik emas  sejumlah gram yg kita mau beli dg harga di bawah fisik emas, ada administrasinya pertahun, bedanya dg tabungan di bank, dia nilai rupiahnya mengikuti berat emas yg kita beli. klebihannya dia bisa diuangkan sewaktu2 sesuai kebutuhan kita tdk harus seluruhnya. apa itu diperbolehkan mnrt hukum syar’i?

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Bagian dari syarat jual beli emas adalah harus dilakukan secara tunai, dari tangan ke tangan.

Dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ مِثْلاً بِمِثْلٍ ، سَوَاءً بِسَوَاءٍ ، يَدًا بِيَدٍ ، فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

Jika emas dibarter dengan emas, perak dengan perak, gandum halus dengan gandum halus, gandum sya’ir dengan gandum sya’ir, kurma dengan kurma, garam dengan garam, maka takarannya harus sama dan harus tunai. Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.” (HR. Muslim 2970)

Anda bisa perhatikan kalimat yang terakhir,

فَإِذَا اخْتَلَفَتْ هَذِهِ الأَصْنَافُ فَبِيعُوا كَيْفَ شِئْتُمْ إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ

“Jika benda yang dipertukarkan berbeda, maka takarannya sesuai yang kalian inginkan, asalkan tunai.”

Ketika kita beli emas, berarti terjadi pertukaran uang dengan emas. Dan ini dua benda ribawi yang berbeda, namun satu kelompok, dan dalam hadis di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mensyaratkan harus dilakukan secara tunai.

Kembali kepada kasus di atas,

Ada dua pendekatan untuk kasus di atas,

[1] Membeli emas secara virtual berarti membeli emas secara tidak tunai, dalam arti uangnya diserahkan sekarang, sementara emasnya belum ada (tertunda).

Uang (tunai) <==> Emas (tertunda)

Ketika transaksi ini dilakukan, berarti melanggar hadis Ubadah bin Shamit di atas, dan itu termasuk bentuk riba nasiah.

Malik bin Aus radhiyallahu ‘anhu bercerita, bahwa beliau pernah mendatangi kerumunan beberapa orang, lalu aku sampaikan, “Siapa yang mau menukarkan dirhamnya? Ini saya punya dinar.”

Di sana ada Thalhah bin Ubaidillah yang ketika itu berada di dekat Umar radhiyallahu ‘anhuma. Sahabat Thalhah  merespon, “Tunjukkan emasmu, sini saya bawa dulu. Jika nanti pembantuku datang, akan saya serahkan dirhamku.”

Mendengar ini, Umar langsung mengingatkan,

كَلَّا، وَاللهِ لَتُعْطِيَنَّهُ وَرِقَهُ، أَوْ لَتَرُدَّنَّ إِلَيْهِ ذَهَبَهُ

Tidak boleh seperti itu, demi Allah, kamu harus serahkan perakmu (dirham) sekarang, atau kamu kembalikan emas itu kepadanya. (HR. Muslim 1586)

Dalam kejadian di atas, Umar mengingkari praktek yang dilakukan Sahabat Malik dengan Sahabat Thalhah, ketika mereka melakukan tukar menukar emas dengan perak secara tidak tunai. Dimana Malik bin Aus menyerahkan emasnya, sementara Thalhah menyerahkan peraknya setelah pembantunya datang. Ada penundaan di sana, dan itu dilarang.

[2] Hakekat transaksi ini adalah utang piutang, namun ada kelebihan.

Misalnya, harga emas saat ini adalah 700rb/gr. Lalu anda menyetorkan uang ke butik emas senilai 7jt, sehingga dicatat telah memiliki emas 10gr. Tiga bulan berikutnya, harga emas 750rb/gr. Lalu anda setor lagi senilai 6jt, sehingga tercatat membeli emas 8gr. Total emas anda 18gr. Selang setahun, harga emas naik menjadi 800rb/gr. Kemudian anda mengambilnya dalam bentuk uang.

Uang yang akan anda terima adalah 14.400.000. Padahal yang anda setorkan senilai 7jt + 6jt = 13jt. Selisih 1.400.000 adalah riba utang piutang, dan bukan selisih jual beli emas, karena tidak ada emasnya.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)

Anda bisa membaca artikel ini melalui aplikasi Tanya Ustadz untuk Android. Download Sekarang !!

Dukung Yufid dengan menjadi SPONSOR dan DONATUR.

🔍 Doa Agar Berjodoh Dengan Orang Yang Diinginkan, Cara Mengatasi Orang Kesurupan Menurut Islam, Akad Nikah Dalam Islam, Pakaian Ihram Wanita, Dampak Negatif Onani, Taqabalallahu Minna Waminkum

Visited 574 times, 1 visit(s) today